Pages

Stop Exploitasi Hutan Indonesia!

Rabu, 13 Maret 2013

PT-76 dan BTR-50: Duet Maut Ranpur Amfibi di Timor Timur


5 Oktober 1975 – Pelanggaran wilayah RI yang dilakukan oleh Fretilin baik berupa penyusupan dan perampokan serta serangan mortir telah mengakibatkan penduduk dan pengungsi Timor Timur menjadi ketakutan. Sebuah LCM (Landing Craft Mechanized) yang dipersenjatai dengan mortir tampak berlayar di dekat wilayah Indonesia di lepas pantai Batugade.


Salah satu tipe LCM

Kolonel (Inf). Dading Kalbuadi, perwira senior yang bermarkasi di Motaain, memerintahkan tank PT-76 Marinir yang bersiaga di perbatasan untuk melepaskan tembakan guna menghalaui LCM bersenjata itu. Tembakan pertama yang dilepaskan menyebabkan beberapa orang dalam LCM itu melompat ke laut dan LCM membuat gerakan zig zag. Setelah lima tembakan dilepaskan, maka LCM pun menyingkir.


PT-76 Korps Marinir dalam operasi Seroja 1975

Hal ini melegakan hati petugas di perbatasan. Pos peninjau Fretilin yang berada di atas bukit ditembak dengan kaliber 76 mm tank amfibi PT-76 dengan peluru HE (High Explosive). Di kemudian hari, ternyata tembakan itu diketahui menewaskan dua orang Fretilin.

6 Desember 1975 – Sore hari – BTP-5/Infantri Brigade -1/Pasrat Marinir turun dari Atabae dan segera masuk ke dalam LST (Landing Ship Tank) KRI Teluk Bone bernomer lambung 511 di pantai Tailcao untuk persiapan pendaratan amfibi di Dili pada pukul 05.00 keesokan harinya.

Dalam persiapan pendaratan, tank PT-76 dan pansam BTR-50 perlu dilakukan pemeriksaan teknis. Pelaksanaan pemeriksaan dengan cermat pada mesin tank amfibi PT-76 dan pansam BTR-50 agar layak digunakan dalam penyeberangan laut menuju pantai. Uji kelayakannya juga dilakukan penelitian terhadap kebocoran dengan jalan langsung masuk ke laut.



Bila ternyata terdapat kebocoran yang tampak berupa gelembung-gelembung udara, maka untuk mengatasinya ditambal dengan kain kanvas dan aspal. BTP-5/Infantri Marinir hanya mempunyai waktu satu jam untuk melakukan uji coba di Tailaco, sebelum tank dan pansam masuk ke dalam LST KRI Teluk Bone.

9 Desember 1975 – malam – unsur Brigade-2/Pasrat Marinir di bawah pimpinan Letnan Kolonel (Mar) Suparno naik ke LST KRI Teluk Langsa yang berlabuh di lepas pantai Dili untuk melakukan pendaratan amfibi di laga sekitar 20 Km Timur Baucau. Pelaksanaan operasi ini dipimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi, Asisten Intelijen Kogasgab.

Menurut penuturan Djumaryo (wartawan Antara) yang berada di LST KRI Teluk Bone dan dan M Tampubolon yang berada di LST KRI Teluk Kau, waktu yang digunakan untuk menyeberang laut sejak turun dari LST sampai ke pantai lebih dari dua jam.


PT-76 dalam kamuflase
 

Catatan tangan dari Kolonel Laut (P) R. Kasenda menyebutkan pasukan amfibi turun dari LST pada pukul 03.32 dan mencapai pantai pada pukul 05.52. Berarti waktu yang diperlukan untuk mencapai pantai ialah 2 jam 20 menit. Memperhitungkan kecepatan dan waktu (kecepatan maksimum tank PT-76 dan pansam BTR-50 di laut ialah 11 Km per jam), maka paling sedikit jarak yang ditempuh dari garis awal di laut sampai ke tumpuan pantai atau beach head lebih dari 20 Km.

Dalam pendaratan amfibi di Laga pada 10 Desember 1975 itu, ternyata Fretilin tidak memiliki artileri pertahanan pantai. Angkatan Darat Portugal hanya mengandalkan kanon untuk dua Detasemen Artileri yang masing-masing terdiri dari tiga pucuk kanon Pak. 40 buatan Jerman model lama. Keenam kanon kaliber 75 mm dengan jarak tembak 8 Km, itu seluruhnya ditempatkan di Dili.

Saat paling kritis bagi tank dan pansam dalam melakukan pendaratan amfibi ialah pada waktu mencebur ke laut dari LST. Kesenjataan amifibi masing-masing tank ringan PT-76 seberat 14 ton dan pansam BTR-50 seberat 14,5 ton akan tenggelam ke dalam laut untuk beberapa detik sesaat meninggalkan LST, kemudian baru muncul ke atas permukaan laut. Meskipun operasi pendaratan amfibi di Laga tidak mendapat perlawanan, tetapi sebuah BTR-50 mengalami kecelakaan di laut yang memakan korban jiwa. (Hendro Subroto)


source :  >>

0 komentar:

Posting Komentar