5 Oktober 1975 – Pelanggaran
wilayah RI yang dilakukan oleh Fretilin baik berupa penyusupan dan perampokan
serta serangan mortir telah mengakibatkan penduduk dan pengungsi Timor Timur
menjadi ketakutan. Sebuah LCM (Landing Craft Mechanized) yang dipersenjatai
dengan mortir tampak berlayar di dekat wilayah Indonesia di lepas pantai
Batugade.
Salah satu tipe LCM
Kolonel (Inf). Dading Kalbuadi,
perwira senior yang bermarkasi di Motaain, memerintahkan tank PT-76 Marinir
yang bersiaga di perbatasan untuk melepaskan tembakan guna menghalaui LCM
bersenjata itu. Tembakan pertama yang dilepaskan menyebabkan beberapa orang
dalam LCM itu melompat ke laut dan LCM membuat gerakan zig zag. Setelah lima
tembakan dilepaskan, maka LCM pun menyingkir.
PT-76 Korps Marinir dalam operasi
Seroja 1975
Hal ini melegakan hati petugas di
perbatasan. Pos peninjau Fretilin yang berada di atas bukit ditembak dengan
kaliber 76 mm tank amfibi PT-76 dengan peluru HE (High Explosive). Di kemudian
hari, ternyata tembakan itu diketahui menewaskan dua orang Fretilin.
6 Desember 1975 – Sore hari –
BTP-5/Infantri Brigade -1/Pasrat Marinir turun dari Atabae dan segera masuk ke
dalam LST (Landing Ship Tank) KRI Teluk Bone bernomer lambung 511 di pantai
Tailcao untuk persiapan pendaratan amfibi di Dili pada pukul 05.00 keesokan
harinya.
Dalam persiapan pendaratan, tank
PT-76 dan pansam BTR-50 perlu dilakukan pemeriksaan teknis. Pelaksanaan
pemeriksaan dengan cermat pada mesin tank amfibi PT-76 dan pansam BTR-50 agar
layak digunakan dalam penyeberangan laut menuju pantai. Uji kelayakannya juga
dilakukan penelitian terhadap kebocoran dengan jalan langsung masuk ke laut.
Bila ternyata terdapat kebocoran
yang tampak berupa gelembung-gelembung udara, maka untuk mengatasinya ditambal
dengan kain kanvas dan aspal. BTP-5/Infantri Marinir hanya mempunyai waktu satu
jam untuk melakukan uji coba di Tailaco, sebelum tank dan pansam masuk ke dalam
LST KRI Teluk Bone.
9 Desember 1975 – malam – unsur
Brigade-2/Pasrat Marinir di bawah pimpinan Letnan Kolonel (Mar) Suparno naik ke
LST KRI Teluk Langsa yang berlabuh di lepas pantai Dili untuk melakukan
pendaratan amfibi di laga sekitar 20 Km Timur Baucau. Pelaksanaan operasi ini
dipimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi, Asisten Intelijen Kogasgab.
Menurut penuturan Djumaryo
(wartawan Antara) yang berada di LST KRI Teluk Bone dan dan M Tampubolon yang
berada di LST KRI Teluk Kau, waktu yang digunakan untuk menyeberang laut sejak
turun dari LST sampai ke pantai lebih dari dua jam.
PT-76 dalam kamuflase
Catatan tangan dari Kolonel Laut
(P) R. Kasenda menyebutkan pasukan amfibi turun dari LST pada pukul 03.32 dan
mencapai pantai pada pukul 05.52. Berarti waktu yang diperlukan untuk mencapai
pantai ialah 2 jam 20 menit. Memperhitungkan kecepatan dan waktu (kecepatan
maksimum tank PT-76 dan pansam BTR-50 di laut ialah 11 Km per jam), maka paling
sedikit jarak yang ditempuh dari garis awal di laut sampai ke tumpuan pantai
atau beach head lebih dari 20 Km.
Dalam pendaratan amfibi di Laga
pada 10 Desember 1975 itu, ternyata Fretilin tidak memiliki artileri pertahanan
pantai. Angkatan Darat Portugal hanya mengandalkan kanon untuk dua Detasemen
Artileri yang masing-masing terdiri dari tiga pucuk kanon Pak. 40 buatan Jerman
model lama. Keenam kanon kaliber 75 mm dengan jarak tembak 8 Km, itu seluruhnya
ditempatkan di Dili.
Saat paling kritis bagi tank dan
pansam dalam melakukan pendaratan amfibi ialah pada waktu mencebur ke laut dari
LST. Kesenjataan amifibi masing-masing tank ringan PT-76 seberat 14 ton dan
pansam BTR-50 seberat 14,5 ton akan tenggelam ke dalam laut untuk beberapa
detik sesaat meninggalkan LST, kemudian baru muncul ke atas permukaan laut.
Meskipun operasi pendaratan amfibi di Laga tidak mendapat perlawanan, tetapi
sebuah BTR-50 mengalami kecelakaan di laut yang memakan korban jiwa. (Hendro
Subroto)
0 komentar:
Posting Komentar